Guru dalam Falsafah dan Realita

Bermula dari falsafah pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, tentunya tidak lepas dari peran guru yang signifikan. Untuk mewujudkannya, guru bersedia meluangkan waktu dan mengajarkan pengetahuan kepada muridnya sampai berhasil melanjutkan estafet bangsa. Dalam khazanah pemikiran pendidikan, guru ditempatkan pada posisi yang sangat luhur. Ki Hajar Dewantara mengajarkan falsafah “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Artinya, di depan guru harus memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan. Filosofi ini menegaskan bahwa guru bukan hanya pengajar, melainkan penggerak peradaban. Keberadaan guru menjadi pilar utama untuk mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia dan memiliki daya saing global.

Setiap pagi, guru hadir di kelas dengan penuh ketulusan. Mengajar bagi mereka bukan sekadar mencari nafkah, melainkan panggilan jiwa untuk mencerdaskan bangsa. Guru dituntut menjadi fasilitator, motivator, sekaligus inovator. Di era teknologi saat ini, guru harus mampu memanfaatkan media pembelajaran interaktif agar proses belajar lebih menarik dan relevan. Lebih dari itu, guru juga berperan dalam membentuk karakter murid melalui keteladanan, nilai-nilai moral, serta sikap sosial. Karena itu, guru bisa disebut sosok multidimensi yang mampu memadukan antara ilmu pengetahuan, seni mengajar, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan peran besar tersebut, guru layak disebut sebagai pahlawan yang ikhlas dalam berjuang. Namun, realita perjuangan dan jasanya tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan yang diperolehnya. Kesejahteraan guru masih menjadi ironi yang tak kunjung usai. Kesenjangan antarguru disebabkan oleh perbedaan status pegawai. Antara guru honorer dan ASN misalnya, jelas berbeda. Ketimpangan kesejahteraan antara guru honorer dan ASN semakin memperlebar jurang keadilan. Padahal, keduanya sama-sama memikul tanggung jawab besar untuk mencerdaskan anak bangsa.

Fenomena yang sering kali terjadi di lapangan menunjukkan bahwa guru harus berjuang di tengah keterbatasan. Terdapat banyak guru honorer di pelosok desa dengan gaji yang masih di bawah standar, bahkan ada yang hanya menerima honor beberapa ratus ribu rupiah per bulan. Sementara itu, guru harus menempuh perjalanan jauh setiap hari dengan sarana transportasi seadanya hanya untuk sampai di sekolah. Fasilitas pendidikan pun sering kali kurang memadai, bahkan jauh dari kata layak, seperti ruang kelas yang rusak, minimnya media pembelajaran, hingga akses internet yang terbatas. Meski demikian, guru tetap memiliki semangat juang yang tidak pernah luntur. Realita ini cukup menjadi potret yang kontras antara cita-cita luhur pendidikan dan kenyataan yang harus diterima para guru.

Di tengah segala keterbatasan dan kondisi yang jauh dari kata ideal, dedikasi guru tidak pernah padam. Di luar sana, banyak kisah inspiratif tentang guru yang tetap mengajar meskipun harus berjalan puluhan kilometer atau mengajar di rumah-rumah warga karena sekolah roboh ditimpa bencana. Sebuah filosofi atau kepercayaan yang dimiliki guru yaitu ilmu harus tetap sampai kepada murid apa pun rintangannya. Pengabdian yang ditunjukkan adalah bukti bahwa profesi guru bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa. Semangat ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua untuk lebih menghargai keberadaan guru. Guru meyakini bahwa setiap usaha yang dilakukan dengan ikhlas akan diridai Allah Swt. dan membawa keberkahan dalam hidup untuk ibadah dan pengabdian. Namun, sikap ini bukan berarti bentuk pasrah ketika hasil yang didapatkan atau gaji itu sendiri belum mencapai maksimal. Justru dengan hal seperti itulah cara guru agar hidup berkecukupan.

Melihat berbagai realita tersebut, sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada para guru. Salah satu langkah yang dinilai cukup penting adalah melakukan pemetaan secara nyata di lapangan untuk mengetahui siapa saja yang benar-benar membutuhkan dan tepat sasaran, tidak melenceng dan tidak ada penyalahgunaan. Dengan adanya pemetaan ini, bantuan dan kebijakan peningkatan kesejahteraan mulai dipedulikan, terutama guru honorer yang selama ini menjadi garda terdepan pendidikan di daerah terpencil sekalipun. Peningkatan kesejahteraan, pemerataan fasilitas pendidikan, dan penyediaan pelatihan berkala harus menjadi prioritas. Guru bukan hanya membutuhkan penghargaan simbolis, tetapi juga jaminan hidup yang layak agar dapat mengajar dengan tenang dan profesional. Harapan besar ini bukan hanya demi nasib guru, tetapi juga demi masa depan bangsa yang cemerlang.

Dalam perspektif Islam, profesi guru menempati posisi yang mulia dan patut dihormati. Dalam Q.S. Al-Isrā’ [17]: 84 dikatakan bahwa:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا

Katakanlah (Muhammmad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing." Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.

Ayat ini mengandung makna bahwa setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan keadaannya. Dalam konteks pendidikan, ayat ini mengisyaratkan bahwa seorang pendidik dituntut untuk profesional dalam menjalankan perannya, dengan menunjukkan tanggung jawab intelektual yang tinggi dalam dunia pendidikan. Profesional bukan berarti sekadar bekerja secara teknis, tetapi mencakup etos kerja yang kuat, bermoral, tidak melanggar akhlak, dan menyesuaikan realita. Mereka tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga nilai-nilai, moral, dan spiritual kepada murid-muridnya. Seperti halnya dokter yang menyuntik pasiennya sesuai prosedur, begitu pula dengan seorang guru ketika mengajar muridnya dengan penuh tanggung jawab.

Menjadi guru memang bukan tugas yang ringan. Mereka memikul amanah besar dalam mencerdaskan dan membimbing generasi penerus umat. Rasulullah saw. juga menegaskan kemuliaan guru. Dalam hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a., beliau bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

"Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun."

Hadis ini menunjukkan bahwa guru sebagai pemberi petunjuk melalui ilmu yang diajarkan, akan mendapatkan pahala yang terus mengalir, bahkan setelah mereka tiada. Pahala tersebut tidak hanya berhenti pada satu murid, tetapi terus berkembang seiring ilmu yang diajarkan itu diamalkan dan diteruskan oleh generasi berikutnya.

Penutup

Guru memiliki peran yang penting dan strategis dalam membentuk masa depan bangsa. Melaui dedikasinya, mereka berperan untuk mencerdaskan dan mempersiapkan kehidupan anak bangsa yang siap menghadapi tantangan zaman. Dengan perannya yang terbilang kursial, sudah selayaknya guru mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, khususnya dalam hal kesejahteraan. Memberikan dukungan yang layak kepada guru tidak hanya sebagai bentuk apresiasi atas pengabdian mereka, tetapi juga investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa. Kesejahteraan guru yang terpenuhi akan berdampak positif terhadap kualitas pendidikan secara keseluruhan, karena guru yang sejahtera dapat menjalankan perannya dengan optimal.

Wawancara redaktur Nisfatul Laila dan Ela Nur Hidayati dengan Prof. Dr. Usman, S.S., M.Ag. – Guru Besar di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kolom Terpopuler