HAKIKAT HIDUP BERSEMI DALAM CAHAYA MAULID

Maulid Nabi Muhammad saw. adalah momen penting yang senantiasa dirayakan umat Islam untuk mengenang kelahiran sang pembawa risalah. Peringatan kelahiran Rasulullah saw. tidak hanya dimaknai sebagai acara seremonial, tetapi juga sebagai momentum spiritual untuk merefleksikan ajaran dan teladan beliau. Maulid menjadi pengingat bahwa hadirnya Nabi di dunia adalah cahaya yang menuntun umat manusia ke arah kebenaran.

Manusia hidup dengan tujuan masing-masing. Ada yang menjadikan dunia sebagai orientasi utama dengan mengejar harta, jabatan, dan kesenangan, seakan-akan dunia ini abadi. Ada pula yang sebaliknya, hanya berfokus pada akhirat dan menganggap dunia tidak berarti. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan: dunia adalah pijakan, sementara akhirat adalah tujuan. Pada hakikatnya, manusia tidak bisa meninggalkan sepenuhnya kehidupan dunia, sebab melalui dunia inilah manusia menyiapkan bekal menuju kehidupan kekal.

Namun, dalam realitas modern yang penuh dengan materialisme, hedonisme, dan persaingan, banyak orang yang terlena dengan gemerlap dunia. Prinsip “selagi hidup, nikmatilah dunia” menjadi tren yang mengakar, membuat manusia berlomba-lomba mengejar kesenangan fana. Padahal, Islam menuntun manusia untuk kembali kepada konsep memanusiakan manusia, yaitu hidup secara wasathiyah (jalan tengah). Manusia tidak diperintahkan meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi juga tidak dibenarkan tenggelam di dalamnya. Dengan mengingat bahwa setelah hidup ada kematian, manusia akan lebih sadar untuk menyiapkan bekal. Itulah sebabnya Islam menegaskan pentingnya zakat, infak, dan sedekah sebagai sarana mengelola kehidupan dunia sekaligus bekal akhirat. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt. pada QS. al-Qashash ayat 77:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا...

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia...”

Dari ayat tersebut, jelas bahwa manusia diperintahkan untuk tetap bekerja, belajar, berkeluarga, dan mengelola kehidupan dunia dengan baik. Namun, semua itu diarahkan sebagai bekal menuju akhirat. Rasulullah saw. berpesan, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati esok hari.” Pesan ini menegaskan bahwa dunia bukan untuk ditinggalkan, melainkan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sementara tujuan akhir tetap satu, yaitu rida Allah dan kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu, Islam mendorong umatnya untuk fastabiqūl khairāt (berlomba-lombalah dalam kebaikan).

Rasulullah saw. diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Rahmat beliau tidak terbatas bagi umat Islam, melainkan bagi seluruh manusia bahkan alam semesta. Allah Swt. menegaskan dalam QS. al-Anbiya ayat 107:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ۝١

“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Dalam ayat tersebut, rahmat direpresentasikan dalam bentuk ajaran beliau yang menekankan akhlak mulia, keadilan, kasih sayang, dan keseimbangan hidup. Untuk meraihnya, manusia harus kembali kepada fitrahnya. Fitrah manusia adalah suci dan cenderung kepada kebaikan. Namun, kesucian itu sering kali tertutupi oleh hawa nafsu dan ambisi duniawi. Karena itu, Rasulullah saw. hadir bukan sekadar membawa risalah, tetapi juga menampilkan pribadi yang sempurna sehingga layak dijadikan panutan. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

“إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ”

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Termasuk dalam kepemimpinan, Rasulullah menegaskan, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” Berdasarkan kedua hadis tersebut, tampak jelas bahwa tujuan terbesar Rasulullah adalah untuk menumbuhkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi maupun dalam peran sosial. Karena itu, apa pun yang kita lakukan selayaknya berpijak pada akhlak yang mulia.

Dari sinilah lahir empat sifat utama yang harus diteladani oleh setiap muslim. Pertama, Ṣidq (jujur). Kejujuran adalah fondasi dari segala kebaikan. Tanpa kejujuran, kepercayaan akan runtuh. Sejak sebelum diangkat menjadi Nabi, Rasulullah sudah dijuluki al-Amīn (orang yang terpercaya) oleh masyarakatnya.

Kedua, Faṭānah (cerdas). Setiap muslim dituntut untuk menggunakan akalnya. Rasulullah selalu berpikir strategis, bijaksana, dan cerdas dalam mengambil keputusan. Namun, kecerdasan ini harus berpadu dengan iman agar tidak menyesatkan.

Ketiga, Amānah (dapat dipercaya). Setiap amanah, sekecil apa pun, harus ditunaikan. Baik dalam keluarga, pekerjaan, organisasi, maupun masyarakat, sifat amanah adalah syarat mutlak yang menentukan kepercayaan orang lain kepada kita.

Keempat, Tablīgh (menyampaikan). Setelah seseorang jujur, cerdas, dan amanah, ia akan mampu menyampaikan kebenaran dengan penuh keyakinan. Menyampaikan tidak selalu harus dengan kata-kata, keteladanan sikap justru sering kali lebih kuat daripada seribu nasihat.

Keempat sifat ini bukan sekadar teori, melainkan harus dimulai dari diri sendiri, kemudian diterapkan dalam keluarga, dan akhirnya meluas ke lingkungan sekitar. Dengan demikian, pribadi yang meneladani Rasulullah saw. akan menjadi cahaya bagi lingkungannya, khususnya bagi umat beliau. Cahaya tersebut akan tercermin melalui keteladanan sikap, dorongan untuk berbuat kebajikan, komitmen dalam menegakkan keadilan, serta upaya menebarkan kasih sayang sesuai dengan ajaran yang diwariskan Rasulullah saw.

Rahmat Nabi sejatinya tidak hanya berupa ajaran, tetapi juga bimbingan menuju cahaya hidayah. Akhlak-akhlak tersebut yang nantinya menjadi jalan untuk meraih hidayah Allah. Hidayah inilah yang kita mohonkan setiap hari dalam doa salat: “Ihdinā ṣ-ṣirāṭ al-mustaqīm” yang artinya, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus,” yakni jalan penuh kebaikan dan rahmat, bukan jalan orang yang sesat atau dimurkai. Maka, salat yang baik bukan hanya sebagai rutinitas, melainkan sarana untuk meraih hidayah itu sendiri.

Namun, hidayah bukan berarti hadiah yang datang tiba-tiba, melainkan harus diusahakan dengan mendekatkan diri kepada Allah. Semakin tulus ibadah dan niat, semakin kuat pula cahaya hidayah yang memancar dalam hati. Kuncinya adalah ikhlas, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat” (HR. Bukhari-Muslim). Ikhlas bukan semata-mata karena mengharap surga atau takut neraka, melainkan murni karena mencari rida Allah. Dari keikhlasan itulah lahir hidayah yang bersifat personal, lahir dalam hati setiap hamba yang sungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Penutup

Hakikat hidup dalam Islam bukanlah sekadar mengejar dunia atau mengabaikannya demi akhirat, melainkan menyeimbangkan keduanya. Dunia harus dikelola dengan baik agar menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi di akhirat. Rasulullah saw. hadir sebagai teladan yang nyata, membawa rahmat, dan mengajarkan akhlak yang mulia. Dengan meneladani sifat-sifat beliau, seperti jujur, cerdas, amanah, dan menyampaikan kebenaran, seseorang tidak hanya memperbaiki dirinya sendiri, tetapi juga menjadi cahaya bagi orang lain.

Momentum Maulid Nabi Muhammad saw. menjadi pengingat bagi kita bahwa kelahiran beliau adalah anugerah terbesar bagi alam semesta. Maulid bukan sekadar perayaan, tetapi sarana untuk menumbuhkan kembali cinta kepada Rasulullah melalui pengamalan akhlak beliau dalam kehidupan nyata. Dengan memperingati Maulid, kita diajak untuk meneladani beliau secara lebih utuh. Bukan hanya mengenang sejarah kelahirannya, melainkan menjadikan setiap ajaran dan keteladanan beliau sebagai inspirasi hidup.

Inilah jalan menuju kebahagiaan sejati: hidup yang bermakna, berakhlak, dan diridai Allah Swt. Mari kita bersama-sama kembali pada fitrah, menata kehidupan dunia sebagai sarana menuju akhirat, serta menjadikan teladan Rasulullah saw. sebagai kompas dalam setiap langkah. Semoga Allah Swt. senantiasa memberikan kita hidayah-Nya agar kita Istiqamah dan tetap berada di jalan kebaikan.

Wawancara redaktur Nabilla Afif Rachmawati dan Najma Ulya Izzatunnisa’ dengan Drs. M. Rosyid Ridla, M.Si., dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler