RESOLUSI JIHAD: MENJAGA MARWAH PESANTREN DI ERA TANTANGAN MODERN
Oleh: KH. Muhammadun, M.Si.
Pengasuh Pondok Asrama Kreatif Bilqolam dan Ketua MWC NU Banguntapan
Berbicara mengenai sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kita tentu tidak bisa lepas dari peran para tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, dan pejuang nasional lainnya. Namun, jauh sebelum mereka lahir, semangat perjuangan sudah lebih dulu dinyalakan oleh para ulama dan santri melalui lembaga pesantren. Salah satu bukti awal perlawanan terhadap kolonialisme yang lahir dari pesantren adalah perjuangan KH. Hasyim Asy’ari, ulama karismatik sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Pesantren Tebuireng didirikan pada tahun 1899, tepat di depan pabrik gula yang kala itu menjadi simbol kekuasaan ekonomi kolonial Belanda. Dari situlah KH. Hasyim Asy’ari menyaksikan langsung ketimpangan sosial dan ekonomi yang dialami rakyat. Berdirinya pesantren tersebut bukan hanya langkah keagamaan, tetapi juga bentuk simbolik perlawanan terhadap sistem kolonial yang menindas masyarakat pribumi. Pesantren menjadi benteng pertahanan nilai-nilai Islam—tempat rakyat kecil menimba ilmu, memperkuat iman, serta melahirkan generasi yang berani berpikir dan berjuang untuk kemerdekaan. Dengan kata lain, sebelum Soekarno muncul sebagai tokoh bangsa, KH. Hasyim Asy’ari telah lebih dulu berjuang melalui jalur pendidikan dan dakwah. Semangat jihad yang beliau gelorakan untuk melawan penindasan sudah tumbuh jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dalam lintasan sejarah, perlawanan para ulama dan santri bukanlah hal baru. Perang Diponegoro pada tahun 1825–1830, misalnya, menunjukkan bagaimana kekuatan spiritual menjadi bahan bakar perjuangan melawan kolonialisme. Sebagian besar pasukan dalam perang tersebut terdiri dari para ulama dan santri. Karena itu, perang ini bukan hanya perang politik, tetapi juga mengandung nilai dan keyakinan yang dalam. Akibat perjuangan tersebut, Belanda mengalami defisit ekonomi besar-besaran, hingga akhirnya menerapkan berbagai kebijakan baru seperti sistem tanam paksa dan eksploitasi industri gula.
Setelah kemerdekaan diproklamasikan, Belanda dan sekutu belum sepenuhnya mengakui kedaulatan Indonesia. Mereka kembali melancarkan agresi militer yang kemudian memicu lahirnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang dideklarasikan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi ini menjadi seruan kepada seluruh umat Islam, khususnya para santri dan ulama, untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan. Dalam konteks ini, jihad tidak dimaknai semata sebagai peperangan fisik, tetapi sebagai kewajiban moral untuk menegakkan kebenaran dan menolak penjajahan. Semangat tersebut menjadi tonggak lahirnya Hari Santri Nasional yang kita peringati hingga saat ini.
Pesantren sebagai Revolusi Nilai
Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat revolusi nilai—tempat ideologi Islam dipelajari, dihayati, dan dihidupkan dalam keseharian. Di pesantren, santri dididik untuk memahami nilai keikhlasan, kesederhanaan, tawadu’, dan tanggung jawab sosial secara konsisten. Ideologi pesantren ini melahirkan subkultur khas Indonesia, yakni budaya yang hidup di tengah masyarakat dengan sistem nilai dan hukum internal yang berbeda dari masyarakat umum. Bagi orang luar, pesantren mungkin hanya tampak sebagai lembaga keagamaan. Namun, mereka belum tentu memahami makna mendalam di dalamnya. Pesantren melahirkan ideologi keilmuan yang kuat dan menjadi sumber lahirnya perubahan. Perubahan yang dimaksud bukan berarti harus cepat, karena sejatinya revolusi tidak diukur dari kecepatan, melainkan dari kedalaman makna. Tradisi sufistik dalam pesantren justru mengajarkan bahwa proses bertahap lebih penting daripada hasil instan. Akidah yang kuat akan melahirkan nilai-nilai yang kokoh, dan nilai-nilai inilah yang menancap dalam jiwa santri sebagai energi revolusi.
KH. Hasyim Asy’ari dan para mursyid sufi memahami bahwa perubahan besar berawal dari perubahan kecil dalam diri manusia. Spirit sufistik di pesantren menekankan tazkiyatun nafs (penyucian diri), agar nilai-nilai Islam tidak hanya dipahami, tetapi juga dihidupkan dalam tindakan nyata. Sebagaimana firman Allah Swt. Dalam QS. Asy-Syams ayat 9-10:
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
“Manusia adalah anak lingkungannya,” begitu prinsip yang sering dipegang para kiai. Artinya, lingkungan pesantren yang penuh dengan nilai keilmuan, ketaatan, dan kesederhanaan akan melahirkan pribadi yang kuat, sabar, dan siap berjuang. Inilah fondasi sejati revolusi nilai: transformasi spiritual yang mengubah manusia dari dalam.
Tantangan Pesantren di Era Modern
Di era digital seperti sekarang, pesantren tak luput dari sorotan publik. Banyak pihak luar menyampaikan kritik melalui media sosial tanpa memahami konteks nilai dan budaya pesantren. Misalnya, konsep barokah, yang bagi warga pesantren berarti limpahan kebaikan dari Allah Swt. melalui amal saleh dan guru spiritual, sering kali disalahartikan sebagai sikap irasional terhadap kiai. Kasus seperti tayangan televisi yang merendahkan pesantren menjadi contoh nyata bagaimana kesalahpahaman dapat menimbulkan gelombang protes besar dari kalangan santri dan alumni.
Dari sisi sosiologis, reaksi tersebut wajar, sebab pesantren memiliki sistem nilai yang harus dihormati dan tidak bisa begitu saja dipahami oleh orang luar. Namun demikian, kritik terhadap pesantren tidak selalu harus dianggap negatif. Dalam tradisi pesantren, kritik justru hal yang lumrah selama disampaikan dengan adab dan tujuan membangun (lil binā’), bukan untuk menghina (lil ihānah). Sebagaimana pesan Rasulullah saw.:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.” (HR. Muslim)
Karena itu, tugas pesantren hari ini adalah menjelaskan nilai-nilai budayanya kepada publik, agar dunia luar memahami pesantren bukan sekadar lembaga keagamaan, melainkan juga pusat peradaban dan moral bangsa.
Selain itu, pesantren kini juga dihadapkan pada tantangan globalisasi dan modernisasi. Dunia digital menghadirkan peluang sekaligus ancaman. Di satu sisi, teknologi bisa menjadi sarana dakwah dan pendidikan. Di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan bimbingan spiritual, teknologi bisa melahirkan dekadensi moral dan hilangnya adab ilmiah. Di sinilah pentingnya santri masa kini untuk menguasai sains, literasi digital, dan bahasa global tanpa meninggalkan nilai-nilai pesantren.
Di tengah perubahan tersebut, pesantren juga dihadapkan pada tantangan internal seperti perundungan, penyalahgunaan kekuasaan, dan rendahnya literasi digital. Masalah seperti ini tidak bisa diabaikan. Maka, semangat Resolusi Jihad perlu dihidupkan kembali, bukan dalam bentuk pertempuran fisik, melainkan sebagai jihad nilai untuk menegakkan kembali ajaran luhur pesantren yang mulai pudar. Santri masa kini harus berani membawa semangat itu ke ranah intelektual, sosial, dan digital. Jihad intelektual berarti memperkuat keilmuan dan literasi, sebagaimana diperintahkan dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11:
... یَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمۡ وَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتࣲ ...
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Sedangkan jihad sosial menuntut santri untuk aktif berperan dalam membangun keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Peran sosial tersebut kini meluas ke dunia digital, di mana jihad diwujudkan melalui penyebaran nilai kebenaran, moderasi, dan adab Islam di ruang maya sebagai bentuk dakwah kontemporer. Hal ini menujukkan bahwa Resolusi Jihad bukan sekadar sejarah, tetapi energi moral yang seharusnya menuntun santri untuk menjaga keilmuan, kejujuran, dan keberanian.
Menjaga Muruah Pesantren
Pesantren memiliki marwah (kehormatan) yang bersumber dari dua hal: keilmuan dan akhlak. Jika dua hal ini hilang, pesantren hanya akan menjadi bangunan fisik tanpa ruh. Oleh karena itu, jihad santri masa kini adalah menjaga otoritas moral pesantren, memastikan bahwa setiap perilaku, perkataan, dan karya ilmiah mencerminkan nilai luhur Islam dan keindonesiaan. Muruah ini harus terus dijaga melalui sikap tawadu, etika digital, dan kesetiaan terhadap tradisi keilmuan. Dengan demikian, pesantren tetap menjadi mercusuar moral bangsa, sumber inspirasi keilmuan, dan benteng terakhir nilai-nilai kemanusiaan di tengah krisis moral global.
Penutup
Sejarah mencatat bahwa sejak tahun 1825–1830, para santri telah berjuang melawan penjajah dalam Perang Diponegoro. Setelah perang tersebut, muncul berbagai gerakan Islam seperti Sarekat Dagang Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama. Semuanya berakar pada semangat keislaman dan kebangsaan. Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah keberanian luar biasa para ulama terdahulu. Mereka menjadikan Islam bukan hanya ajaran spiritual, tetapi juga legitimasi moral dan energi jihad untuk melawan penindasan. Agama menjadi sumber keberanian, bukan sekadar simbol ritual. Budaya pesantren dengan segala nilai dan tradisinya harus terus dijaga dan disampaikan dengan bijak kepada generasi baru maupun masyarakat luas. Jika disampaikan dengan cara yang terbuka dan penuh kearifan, pesantren tidak akan tampak tertutup, melainkan akan dikenal sebagai sumber kebijaksanaan dan kekuatan moral bangsa. Maka, tugas santri hari ini adalah menjadikan takwa, ilmu, dan akhlak sebagai bentuk jihad kontemporer yang melanjutkan semangat Resolusi Jihad dengan cara menjaga marwah pesantren di tengah tantangan modern.