Dari Duka Menuju Kesadaran: Saatnya Umat Belajar dari Ujian
Musibah yang menimpa Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo pada 28 September 2025 menjadi kabar duka bagi bangsa. Dalam sekejap, tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuhnya ilmu dan ketenangan berubah menjadi ladang kesedihan. Puluhan santri berpulang ke hadirat Allah, sementara keluarga, sahabat, dan masyarakat larut dalam kehilangan. Duka ini bukan hanya milik mereka, tetapi milik kita semua.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa hidup tidak sepenuhnya di bawah kendali manusia. Di tengah segala upaya, selalu ada sisi yang mengajarkan kerendahan hati bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah. Namun, Islam juga mengajarkan bahwa manusia diberi akal dan tanggung jawab untuk berikhtiar. Kehati-hatian dan amanah dalam menjalankan tanggung jawab bukan sekadar urusan duniawi, tetapi bagian dari ibadah.
Peristiwa di Sidoarjo mengingatkan bahwa setiap bangunan dan sistem kehidupan dapat runtuh bila fondasinya rapuh. Kehidupan sosial pun bisa goyah bila amanah, disiplin, dan tanggung jawab diabaikan. Karena itu, tragedi bukan semata takdir, tetapi undangan untuk menengok kembali sejauh mana nilai-nilai Islam dijaga dalam tindakan nyata.
Allah berfirman:
وَمَآ أَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (QS. asy- Syûrâ : 30)
Ayat ini tidak untuk menyalahkan, tetapi menyadarkan bahwa setiap peristiwa adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Duka seharusnya melahirkan kesadaran, bukan sekadar ratapan. Dari duka lahir doa, dari doa tumbuh kesadaran, dan dari kesadaran tercipta masyarakat yang lebih amanah, peka, dan beriman.
Menemukan Hikmah di Balik Ujian
Setiap tragedi besar meninggalkan dua kemungkinan: menjadi luka atau pelajaran. Dalam pandangan Islam, tidak ada peristiwa tanpa hikmah. Di balik kesedihan selalu ada peluang memperdalam iman, menata akal, dan menumbuhkan tanggung jawab.
Allah Swt. berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
“Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini mengajarkan bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan, bukan hukuman. Respons terhadap ujianlah yang menentukan apakah manusia naik derajatnya atau kehilangan arah. Kesabaran bukan sekadar menahan tangis, tetapi kemampuan berpikir jernih dan memperbaiki keadaan. Ketika tragedi seperti di Sidoarjo terjadi, kesabaran sejati tampak dalam kepedulian, gotong royong, dan doa tulus. Itulah sabar yang melahirkan solidaritas.
Namun, kesabaran juga menuntun kita merefleks: apakah amanah sudah dijalankan sebaik mungkin? Apakah keselamatan sudah menjadi bagian dari iman? Dalam dunia pendidikan Islam, termasuk pesantren, amanah bukan hanya mendidik akhlak dan ilmu, tetapi juga menjamin keselamatan para pencari ilmu.
Allah Swt. berfirman:
إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمٰنٰتِ إِلٰٓى أَهْلِهَاۙ وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ إِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِۗ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisâ’ : 58)
Ayat ini menegaskan bahwa amanah memiliki dua wajah: spiritual dan sosial. Ia bukan hanya janji dalam hati, tetapi tanggung jawab yang menuntut kecermatan, kejujuran, dan kehati-hatian. Dalam konteks lembaga pendidikan, amanah berarti memastikan bahwa setiap kebijakan dan fasilitas berjalan demi kemaslahatan. Maka, menemukan hikmah di balik ujian bukan berarti mencari kambing hitam, tetapi menemukan kembali nilai-nilai yang hilang: amanah, keilmuan, dan kehati-hatian. Musibah menjadi cermin bahwa kebaikan tidak cukup dengan niat, tetapi memerlukan sistem dan kepedulian sosial yang nyata.
Ujian datang bukan untuk melemahkan, melainkan meneguhkan. Ia memanggil umat untuk terus belajar dan terus memperbaiki diri. Sebab, di balik setiap duka selalu ada peluang menumbuhkan kesadaran baru bahwa iman sejati selalu berjalan seiring tanggung jawab dan ilmu.
Amanah dan Budaya Keselamatan sebagai Ibadah
Pelajaran penting dari setiap ujian kemanusiaan adalah bahwa amanah tidak berhenti pada niat, tetapi harus terwujud dalam tindakan nyata yang melindungi kehidupan. Dalam Islam, menjaga keselamatan jiwa (hifz al- nafs) merupakan tujuan utama syariat. Karena itu, kelalaian terhadap keselamatan manusia berarti mengingkari nilai amanah itu sendiri.
Setiap bangunan, kebijakan, dan aktivitas umat memuat tanggung jawab moral untuk memastikan kemaslahatan. Maka, budaya keselamatan bukan sekadar urusan teknis, melainkan wujud kesalehan sosial.
Allah Swt. berfirman:
.... وَلَا تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِۛ وَأَحْسِنُوْاۛ إِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Pesan ayat ini jelas, yaitu menjaga diri dan orang lain dari bahaya adalah perintah ilahi. Dalam konteks modern, ayat ini membangun kesadaran bahwa keselamatan adalah bagian dari ibadah. Ihsan—berbuat baik dengan kesungguhan—tidak hanya tampak dalam ritual, tetapi juga dalam kerja profesional dan sosial.
Ketika guru memeriksa kelayakan ruang kelas, pengurus pesantren memastikan fasilitas aman, atau masyarakat saling mengingatkan tentang bahaya, semua itu adalah ibadah. Sayangnya, kita sering memisahkan antara urusan spiritual dan teknis—teliti dalam ibadah ritual, tetapi abai terhadap keselamatan. Padahal, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” Hadis ini menegaskan bahwa kehati-hatian adalah manifestasi iman.
Budaya keselamatan yang berbasis iman harus tumbuh dari taqwa, bahwa setiap tindakan pasti diawasi Allah. Dalam lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren, amanah berarti menjaga santri bukan hanya dari kebodohan, tetapi juga dari bahaya yang bisa mengancam keselamatan mereka.
Menjalankan amanah dengan benar berarti menyeimbangkan antara niat suci dan tanggung jawab profesional, antara spiritualitas dan rasionalitas. Iman tanpa ilmu melahirkan kelengahan, sedangkan ilmu tanpa iman kehilangan arah moral. Islam memadukan keduanya agar manusia hidup seimbang—membangun dengan hati tulus dan pikiran cermat.
Budaya keselamatan harus dihidupkan di setiap lini kehidupan: rumah tangga, lembaga, masyarakat, hingga negara. Sebab, hanya dengan amanah yang dijaga dan keselamatan yang diprioritaskan, umat ini dapat menjadi teladan peradaban. Di situlah keindahan ajaran Islam: tidak hanya menuntun manusia untuk beriman, tetapi juga mengajarkan adab terhadap kehidupan.
Dari Duka ke Kesadaran: Jalan Menuju Perubahan
Musibah di Sidoarjo bukan sekadar kisah pilu, tetapi cermin bagi kita untuk bertanya: sudahkah kita belajar dari ujian? Biasanya duka datang cepat, doa mengalir deras, tetapi lupa pun sering datang lebih cepat. Kita berduka bersama, tetapi kesadaran sering memudar. Padahal, duka sejati adalah yang melahirkan perubahan.
Allah Swt. berfirman:
لَهُ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْنَهُ مِنْ أَمْرِ اللّٰهِ ۗ إِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْۗ وَإِذَآ أَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهِ مِنْ وَّالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d : 11)
Ayat ini mengingatkan bahwa doa tanpa tindakan hanyalah harapan kosong. Kesedihan tanpa pembelajaran hanyalah nostalgia. Perubahan sejati lahir dari hati yang mau belajar dari pengalaman pahit.
Dalam konteks umat, kesadaran berarti memperkuat sistem, memperbaiki tata kelola, dan menumbuhkan budaya tanggung jawab. Lembaga-lembaga keislaman, termasuk pesantren, memiliki peran penting sebagai teladan moral dan pelaku nyata dalam membangun budaya amanah dan keselamatan.
Kesadaran juga berarti empati sosial. Duka para korban harus menjadi panggilan untuk saling peduli, bukan saling menyalahkan. Nabi Muhammad saw. bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari o. 13 dan Muslim no. 45)
Duka orang lain adalah duka kita. Kehilangan orang lain adalah panggilan untuk memperkuat rasa kemanusiaan. Dari duka inilah umat belajar menata ulang prioritas, menempatkan kasih sayang, tanggung jawab, dan kehati-hatian sebagai dasar kehidupan bersama.
Perubahan yang lahir dari kesadaran bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga hati. Hati yang peka terhadap penderitaan sesama, hati yang tidak ingin mengulangi kesalahan, dan hati yang yakin bahwa setiap ujian adalah peluang untuk mendekat kepada Allah. Jika umat mampu menjadikan duka sebagai sumber kesadaran, ujian yang menyakitkan akan berubah menjadi energi spiritual yang menumbuhkan kemajuan. Dari musibah lahir empati, dari empati lahir tanggung jawab, dan dari tanggung jawab lahirlah peradaban yang lebih manusiawi.
Maka, marilah belajar dari duka, bukan sekadar meratapinya. Jadikan setiap ujian sebagai titik balik untuk memperbaiki diri, memperkuat iman, dan menegakkan amanah. Sebab di balik kesedihan, selalu ada harapan bahwa umat ini akan tumbuh lebih bijak, peduli, dan beriman.
Penutup Reflektif
Dari duka menuju kesadaran, dari kesadaran menuju perubahan. Inilah jalan panjang agar ujian tidak berlalu sia-sia. Musibah adalah panggilan Tuhan agar manusia kembali pada fitrahnya: menjaga, mencintai, dan memakmurkan kehidupan dengan iman dan tanggung jawab.
Catatan Penulis
Tulisan ini tidak bermaksud menilai atau membela pihak mana pun, melainkan refleksi Qur’ani untuk menumbuhkan kesadaran sosial dan spiritual agar setiap musibah menjadi sumber pembelajaran dan perbaikan bersama.
Oleh: Derry Ahmad Rizal, M.A.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta